Jadigitu.com ~ Orang tua yang memiliki gangguan makan atau eating disorder (ED) berpotensi besar menurunkan kelainan ini kepada anak mereka kelak. Menurut psikolog Tara Adhisti, faktor genetis dan lingkungan memiliki peranan besar dalam membentuk faktor risiko gangguan makan, seperti bulimia nervosa dan anorexia nervosa.
"Faktor risiko seseorang memiliki eating disorder bila keluarga juga ada yang memiliki sejarah eating disorder," ujar Tara dalam acara "Eating Disorder Awareness" di Restoran Makan-Makan, Kebayoran, Jakarta Selatan, Selasa, 19 Februari 2013.
Pengaruh genetis dari orang tua ini yang menyebabkan pola baru penderita eating disorder atau gangguan makan yang semakin muda. Menurut dokter spesialis fisiologi dari University of Tuebinger, Jerman, Grace Judio-Kahl, orang tua yang memberi contoh diet yang salah dapat memicu anak untuk mencontoh melakukan diet yang salah.
"Ada salah satu pasien yang datang ke saya, anaknya mengalami bulimia di usia sangat muda, ini karena ibunya pelaku diet lalu menanamkan persepsi yang salah soal postur atau citra tubuh," ujar Grace di tempat yang sama. Awalnya, gangguan makan ini karena kebingungan anak dalam mencontoh pola makan dan hidup kedua orang tuanya.
Karena itu, menurut Grace, penting bagi orang tua untuk mendeteksi gejala awal atau bibit gangguan makan pada anak. Sebab, tanpa disadari, gangguan makan ini merupakan manifestasi kelainan psikologis yang sering tidak terlihat, namun berakibat fatal pada fisik.
Pasien gangguan makan, menurut Grace, sering menyalahkan diri sendiri atau keluarga bila berat badannya tidak turun. "Ini karena dalam otak mereka terdapat ketidakseimbangan neurotransmiter," ujar Grace. Dalam otak pasien gangguan makan, terutama di bagian nucleus caudatus, terdapat gangguan sintesis dan sekresi hormon serotonin dan dopamin.
Serotonin dalah hormon pengantar saraf untuk mengendalikan nafsu makan dan mood, sedangkan dopamin berperan untuk proses belajar, menanggapi, dan mengatur rasa ketergantungan. Dalam kasus gangguan makan anorexia nervosa, saraf yang memproses serotonin bereaksi sangat aktif.
"Sehingga selalu merasa kenyang dan mood-nya gelisah," ujar Grace. "Selain itu, ada pula hormon yang disebut orexin, yang berkurang aktivitasnya, sehingga mengakibatkan penurunan nafsu makan," Grace menambahkan.
Psikolog Tara Adhisti menjelaskan, yang dimaksud anorexia nervosa adalah gangguan makan yang dikategorikan sebagai perilaku diet atau olahraga yang berlebihan demi mengurangi berat badan, sering kali hingga tubuh menjadi sangat kelaparan. Seseorang dengan anoreksia tidak pernah merasa dirinya cukup langsing dan terus melihat tubuhnya gemuk. "Padahal mereka telah berhasil menurunkan berat badan secara ekstrem," ujar Tara.
Sedangkan bulimia nervosa adalah gangguan makan yang ditandai dengan siklus makan yang berlebihan (bingeing), lalu diikuti dengan perilaku memuntahkan atau tindakan lain untuk menebus kelebihan makan sebelumnya. Gangguan ini berkaitan erat dengan perasaan kehilangan kontrol diri saat makan.
"Perbedaan kedua gangguan makan ini adalah anoreksia memiliki kontrol diri yang sangat berlebihan. Sedangkan bulimia sebaliknya, saat makan kehilangan kontrol diri, tapi ada tindakan untuk menebusnya, yaitu memuntahkan," ujar Tara.
"Faktor risiko seseorang memiliki eating disorder bila keluarga juga ada yang memiliki sejarah eating disorder," ujar Tara dalam acara "Eating Disorder Awareness" di Restoran Makan-Makan, Kebayoran, Jakarta Selatan, Selasa, 19 Februari 2013.
Pengaruh genetis dari orang tua ini yang menyebabkan pola baru penderita eating disorder atau gangguan makan yang semakin muda. Menurut dokter spesialis fisiologi dari University of Tuebinger, Jerman, Grace Judio-Kahl, orang tua yang memberi contoh diet yang salah dapat memicu anak untuk mencontoh melakukan diet yang salah.
"Ada salah satu pasien yang datang ke saya, anaknya mengalami bulimia di usia sangat muda, ini karena ibunya pelaku diet lalu menanamkan persepsi yang salah soal postur atau citra tubuh," ujar Grace di tempat yang sama. Awalnya, gangguan makan ini karena kebingungan anak dalam mencontoh pola makan dan hidup kedua orang tuanya.
Karena itu, menurut Grace, penting bagi orang tua untuk mendeteksi gejala awal atau bibit gangguan makan pada anak. Sebab, tanpa disadari, gangguan makan ini merupakan manifestasi kelainan psikologis yang sering tidak terlihat, namun berakibat fatal pada fisik.
Pasien gangguan makan, menurut Grace, sering menyalahkan diri sendiri atau keluarga bila berat badannya tidak turun. "Ini karena dalam otak mereka terdapat ketidakseimbangan neurotransmiter," ujar Grace. Dalam otak pasien gangguan makan, terutama di bagian nucleus caudatus, terdapat gangguan sintesis dan sekresi hormon serotonin dan dopamin.
Serotonin dalah hormon pengantar saraf untuk mengendalikan nafsu makan dan mood, sedangkan dopamin berperan untuk proses belajar, menanggapi, dan mengatur rasa ketergantungan. Dalam kasus gangguan makan anorexia nervosa, saraf yang memproses serotonin bereaksi sangat aktif.
"Sehingga selalu merasa kenyang dan mood-nya gelisah," ujar Grace. "Selain itu, ada pula hormon yang disebut orexin, yang berkurang aktivitasnya, sehingga mengakibatkan penurunan nafsu makan," Grace menambahkan.
Psikolog Tara Adhisti menjelaskan, yang dimaksud anorexia nervosa adalah gangguan makan yang dikategorikan sebagai perilaku diet atau olahraga yang berlebihan demi mengurangi berat badan, sering kali hingga tubuh menjadi sangat kelaparan. Seseorang dengan anoreksia tidak pernah merasa dirinya cukup langsing dan terus melihat tubuhnya gemuk. "Padahal mereka telah berhasil menurunkan berat badan secara ekstrem," ujar Tara.
Sedangkan bulimia nervosa adalah gangguan makan yang ditandai dengan siklus makan yang berlebihan (bingeing), lalu diikuti dengan perilaku memuntahkan atau tindakan lain untuk menebus kelebihan makan sebelumnya. Gangguan ini berkaitan erat dengan perasaan kehilangan kontrol diri saat makan.
"Perbedaan kedua gangguan makan ini adalah anoreksia memiliki kontrol diri yang sangat berlebihan. Sedangkan bulimia sebaliknya, saat makan kehilangan kontrol diri, tapi ada tindakan untuk menebusnya, yaitu memuntahkan," ujar Tara.
Sumber: http://www.tempo.co/read/news/2013/02/19/060462373/Gangguan-Makan-Menurun-Secara-Genetis
{ 0 komentar... Skip ke Kotak Komentar }
Tambahkan Komentar Anda