Jadigitu.com ~ Mereka-merek
yang membidik pasar remaja akan mengalami tantangan yang lebih besar di
era digital. Ini juga terlihat dari hasil survei Top Brand for Teens
yang disajikan oleh Majalah MARKETING pada edisi bulan April 2012 lalu.
Ketika era digital belum datang, merek-merek yang membidik pasar remaja
sebenarnya juga sudah berhadapan dengan problem yang berhubungan dengan
loyalitas.
Maklum, mereka adalah pasar yang
sensitif terhadap harga sehingga kemungkinan untuk pindah ke merek baru
yang menawarkan harga murah, sangatlah besar. Pasar remaja juga adalah
pasar yang diisi oleh konsumen yang variety seeker. Mereka ingin mencoba
merek yang baru, relatif cepat bosan, dan berani mengambil risiko untuk
sebuah merek yang tak dikenal sebelumnya.
Tahun ini dan di masa-masa
mendatang, tantangan ini semakin besar. Hasil survei dari Frontier
Consulting Group mengenai perilaku digital para remaja Indonesia menunjukkan kebenaran hipotesa ini. Hanya dalam waktu satu tahun saja
sudah terlihat perbedaan yang sangat signifikan.
Survei dari Frontier ini
dilakukan di enam kota besar di Indonesia. Kelompok responden adalah
remaja yang berusia antara 13 hingga 18 tahun, atau mereka yang duduk di
bangku SMP dan SMA. Hasil survei menunjukkan para remaja yang memiliki
akun media sosial adalah 91,2% di tahun 2011. Pada tahun 2012,
persentase ini meningkat menjadi 97,5%. Peningkatan terbesar adalah
perilaku mereka dalam hal melakukan download atau upload, yang semula
hanya 48,8% di tahun 2011, menjadi 71,1% di tahun 2012.
Salah satu kesimpulan dari hasil
survei ini adalah bahwa remaja Indonesia sudah semakin dalam
menggunakan media sosial baik dari jumlah waktu maupun besarnya
engagement mereka. Apa implikasinya terhadap strategi dan proses dalam
membangun Top Brand for Teens? Media sosial telah membuat remaja semakin
memiliki banyak informasi terhadap merek-merek yang ditujukan untuk
mereka. Kesempatan yang besar bagi merek-merek baru untuk dengan mudah
mengisi benak pasar remaja.
Kedua, remaja-remaja Indonesia
juga akan semakin memiliki kemampuan untuk membuat keputusan sendiri
dalam melakukan pembelian atau memiliki pengaruh yang semakin kuat
terhadap orangtua mereka. Memang, mereka belum memiliki penghasilan.
Banyak proses keputusan pembelian merek yang mereka lakukan adalah
terbatas dari uang saku yang mereka peroleh dari orangtua. Untuk
produk-produk di luar jangkauan uang saku mereka, remaja ini bisa
memberikan pengaruh kepada orangtuanya dalam membuat keputusan. Kalau di
masa lalu, sebagian besar adalah rekomendasi orangtua kepada anak
remajanya, tetapi saat ini, proses terbalik. Keinginan membeli dimulai
dari anak remaja dan kemudian orangtua memberikan persetujuan. Ini
terjadi terutama di produk-produk fashion, kosmetik, hingga penentuan
liburan. Anak remaja saat ini dipersepsi oleh orangtuanya sebagai anak
yang semakin cerdas. Mereka mendapatkan informasi lebih banyak
dibandingkan orangtuanya. Tidak mengherankan bila kemudian orangtua
bukan sebagai pihak yang menentukan dan memengaruhi, tetapi sebagai gate
keeper atau pihak yang hanya memberikan persetujuan.
Ketiga, kemampuan media sosial
dalam menyebarkan buzz sungguh luar biasa. Facebook, Twitter, dan
YouTube sudah menunjukkan kehebatannya untuk menyebarkan informasi
kepada para remaja dengan kecepatan yang tidak pernah terbayangkan. Ini
juga yang membuat penyebaran informasi mengenai merek menjadi puluhan
kali lebih cepat. Merek-merek yang sudah stabil akhirnya mudah digoyang
pula.
Kesemua fenomena ini menunjukkan
bahwa para CMO, marketing, atau brand manager yang mereknya membidik
pasar remaja harus lebih sensitif dan cepat merespons pasar dan
sekaligus harus semakin kreatif. Tidak mengherankan, hasil survei Top
Brand for Teens juga menunjukkan bahwa terdapat merek-merek papan atas
yang indeks Top Brand-nya turun hingga 10% hanya dalam waktu satu tahun.
Sebuah penurunan indeks yang tidak akan mudah terjadi bila merek
ditujukan untuk segmen dewasa.
Segmentasi Baru
Untuk melihat dampak perilaku
digital terhadap kekuatan merek, CMO harus melakukan pendekatan yang
baru dalam melihat konsumen. Groundswell memberi sebuah pandangan baru
bagaimana membagi konsumen seusia dengan aktivitas dan pengaruh merek
dalam dunia online. Dia membagi menjadi tujuh segmen atau kelompok,
yaitu segmen creator, conversationalist, critic, collector, joiner,
spectator, dan inactive. Segmen-segmen tersebut adalah para konsumen
yang sangat aktif dan terlibat, dan dunia digital adalah bagian
kehidupan mereka yang sangat penting.
Creator adalah mereka yang
termasuk blogger. Mereka menulis, menciptakan, dan memberikan pengaruh
kepada orang banyak. Conversationalist adalah mereka yang memiliki akun
media sosial dan secara aktif melakukan updating. Segmen kedua ini juga
merupakan penyebar informasi yang besar. Selanjutnya, segmen critic
adalah mereka yang aktif menjadi anggota forum online. Mereka dengan
rajin memberikan komentar dan mau terlibat dalam sebuah percakapan,
walau relatif lebih pasif dibanding dengan dua segmen sebelumnya.
Critic adalah konsumen yang
masih memberikan komentar pendek. Mereka mau merespons apakah like
terhadap tampilan tertentu atau ikut dalam suatu vote dunia online.
Segmen collector adalah konsumen yang masih rajin berlangganan RSS dan
menjadi anggota dari berbagai situs.
Joiner adalah mereka yang
mungkin masih memiliki akun media sosial tetapi relatif pasif. Mereka
hanya kelompok yang tidak ingin merasa ketinggalan terhadap perkembangan
digital. Yang banyak dihuni oleh mereka yang berusia lebih dari 50tahun
adalah segmen spectator. Mereka mungkin membaca berita digital, tetapi
tidak tertarik menjadi bagian dari komunitas digital. Mereka adalah
segmen penonton saja. Disebut sebagai bagian dari inactive kalau tidak
melakukan aktivitas apa pun dalam dunia digital. Mereka hanya senang
menonton televisi atau bertemu langsung dalam berkomunitas.
Bisa diduga bahwa konsumen
remaja adalah mereka yang banyak menduduki segmen atas dalam piramida
ini. Creator, walau jumlahnya sedikit—mungkin hanya 0,1%, memberikan
pengaruh lebih dari 50% konsumen. Sebuah komplain dari para creator atau
conversationalist akan menyebar kepada ribuan atau jutaan konsumen
dalam waktu sangat singkat.
Oleh karena itu merek-merek yang
membidik segmen di bawah piramida ini akan beruntung. Mereka masih akan
menikmati banyak kestabilan. Maklum, mereka yang berusia diatas 40
tahun banyak yang masuk dalam grup inactive, spectator, atau joiner.
Mereka sungguh pasif dalam aktivitas media sosial dan selalu menjadi
grup yang ketinggalan informasi.
Merek-merek yang membidik pasar
remaja pun, tidak akan memiliki dampak yang sama. Ada beberapa industri
yang memang sensitif terhadap media sosial, seperti industri kuliner,
fashion, dan otomotif. Ketergantungan industri ini terhadap media sosial
semakin besar.
Di satu sisi, justru ini bisa
menjadi kesempatan bagi merek yang cerdas memanfaatkannya. Mereka akan
mendapati biaya komunikasi yang lebih efisien. Mereka akan menikmati
pembangunan merek yang lebih cepat. Selain itu, merek-merek yang
kemudian bisa melibatkan segmen remaja agar lekat dan memiliki
engagement dengan merek mereka, semakin terbuka. Sungguh sayang, masih
banyak perusahaan dan CMO yang tidak menyadari akan tantangan dan
sekaligus kesempatan yang besar dalam era digital ini.
Sumber:http://r0edin.blogspot.com/2012/07/perilaku-digital-pasar-remaja.html
{ 0 komentar... Skip ke Kotak Komentar }
Tambahkan Komentar Anda